Preparing You to be a Better Professional

oleh DR. Dwi Suryanto

Ketika saya main tenis, seorang teman yang cukup kaya ikut bergabung bermain. Saya lirik raketnya amat mahal, berjuta-juta. Satu hal yang jarang dilakukan di permainan tenis. Harga raket tenis waktu itu berkisar 400 ribu hingga 600 ribu rupiah.

Dengan raket mahalnya dia mengayun raket mencoba memukul bola. Wus, mleset. Ia mencoba sekuat tenaga. Tung, bola kena dipukul tapi malah keluar lapangan, dan kami harus berhenti karena menunggu bola diketemukan.

Tiba-tiba datang seorang berpakaian olah raga agak lusuh. Raketnya mungkin masih dari kayu, pokoknya murah harganya. Dengan santai dia memukul bola, base line, drop shot, dan voli dengan mudah dan akurat. Ia bahkan kelihatan tidak berkeringat. Ia mengalahkan kita semua. Siapa dia? Ternyata ia seorang bekas ball boy dan sekarang menjadi pelatih.

Ketika kami istirahat, kita guyon. "Benar juga ya kata orang bahwa the man behind the gun adalah lebih penting daripada gun itu sendiri. Walau raketnya jutaan, tapi kok tergopoh-gopoh karena kurang ahli..."

hr as asset
Kami saat itu tersadar bahwa ratusan SDM yang berbakat lebih penting dari pada jumlah SDM yang ribuan.

Malah pejabat Microsoft pernah mengatakan bahwa satu programmer yang luar biasa berbakat, jauh lebih baik dibanding 10.000 programmer biasa saja.

Ini pula yang sering dihadapi oleh pimpinan perusahaan. Memiliki karyawan begitu banyak, tapi selalu saja merasa tidak cukup. Ketika membutuhkan keahlian tertentu, selalu saja susah mencarinya. Akhirnya, dengan terpaksa, harus merekrut orang baru atau memakai jasa konsultan.

Dari telusuran Jim Collins dalam Good to Great-nya, ia menemukan bahwa di perusahaan yang hebat-hebat tersebut melakukan lebih banyak upaya untuk menemukan orang yang tepat daripada jumlah. Andaikata perusahaan sebagai bis, lebih penting ada penumpang yang tepat dari pada penumpang bis yang penuh namun tidak tepat.

Perusahaan itu mengkondisikan keadaan agar orang-orang hebat tetap bekerja di sana. Tapi bagi orang yang tidak tepat (tidak bakat, keahliannya kurang bermanfaat dsb), sistem yang ada akan membuat mereka tidak kerasan. Akibatnya, mereka banyak yang keluar dari perusahaan hebat itu.

Hebatnya lagi, ketika perusahaan-perusahaan itu lagi menghadapi masalah mereka tidak langsung meng-PHK. Ini jelas beda dengan perusahaan biasa saja. Begitu menghadapi masalah, seperti krisis keuangan global seperti sekarang ini, mereka akan dengan serta merta dan ringan hati untuk mem-PHK. Mereka merasa bahwa inilah strategi yang terbaik.

Perusahaan hebat menemukan bahwa memiliki orang yang tepat (termasuk bakat, motivasi, semangat kerja, dan keahlian), adalah kunci menghadapi masalah apa saja. Ketika mereka menghadapi masalah, orang-orang hebat tadi akan bisa mencari solusii yang tepat. Ketika produk mereka mengalami penurunan, mereka akan bisa mencari produk pengganti atau me-repositioning agar bisa meningkatkan penjualan.

Masalah memiliki karyawan yang tepat ini amat krusial pada perusahaan yang sifatnya padat karya seperti PT Pos Indonesia dan PT KAI yang karyawannya berjumlah puluhan ribu.

Bagaimana Cara Menciptakan Sistem Agar Memiliki Orang-Orang yang Tepat.

1. Perekrutan harus berdasarkan pada tuntutan kompetensi yang dibutuhkan.

Pada umumnya ketika perusahaan merekrut, mereka hanya mencantumkan karakteristik karyawan yang amat umum. Misalnya lulus S-1 Teknik, berpengalaman 2 tahun, memiliki semangat kerja, pantang menyerah dsb.

Harusnya dipetakan dulu kompetensi yang dibutuhkan. Caranya mudah. Amati karyawan yang kinerjanya luar biasa. Modelling atau catat berilaku, pola pikir, pola tindak, dan kebiasaan serta perasaan orang itu ketika bekerja. Tanyakan apa yang memotivasi orang itu sehingga bisa bekerja hebat.

Dari catatan tadi, kita akan memperoleh seperangkat perilaku spesifik yang bisa kita jadikan pegangan untuk merekrut. Tentu perilaku tadi harus bisa diamati. Cara mengetes peserta adalah dengan menyajikan kasus-kasus tertentu di mana calon harus mengemukakan pikiran, perasaan, strategi yang perlu dilakukan.

Pewawancara tinggal mencocokkan jawaban tadi dengan seperangkat kompetensi yang sudah didapat dari karyawan hebat tadi. Insya Allah dalam tulisan-tulisan mendatang saya bisa membahas SDM berbasis kompetensi...

2. Adanya sistem yang tegas (bukan kejam) yang mengukur kinerja karyawan secara jelas dan akurat.

Sistem itu harus disesuaikan dengan filsafat yang dianut oleh perusahaan itu. Jika perusahaan itu menganut perlunya inovasi dan bebasnya gagasan mengalir, maka sistem yang ada harus mendorong agar gagasan bisa bebas mengalir. Gaji/Imbalan juga harus mendorong orang agar bebas berinovasi. Tentu aturan yang sifatnya 'mencekik' kreativitas, harus dihilangkan.

Artinya, standar-standar kinerja jelas, termasuk jika seseorang tidak menunjukkan kinerja yang seharusnya. Sistem ini akan mempersilakan orang yang tidak berkinerja untuk keluar.

Sepintas sistem seperti itu kejam, tapi inilah hakekat yang dihadapi oleh perusahaan saat ini. Tidak ada yang mudah seperti dulu. Hanya dengan orang-orang terbaiklah perusahaan mampu mengarungi perubahan yang dahsyat ini.

Jadi SDM bukanlah aset. Yang benar adalah memiliki SDM yang tepatlah yang sesungguhnya menjadi aset perusahaan...

Salam

* DR. Dwi Suryanto, Ph.D adalah penulis buku Transformational Leadership: Terobosan Baru Menjadi Pemimpin Unggul. Ia seorang konsultan, trainer dan motivator yang mampu menghidupkan suasana rapat-rapat kerja menjadi suasana ceria, menginspirasi, dan membawa perubahan pada pesertanya...

Artikel Manajemen

Perencanaan Tata Ruang

Customer Service Excellent